CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI

CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI, Hasrat-Bispak12 Seluruh orang didalamnya harus bertarung serta berkorban agar tak tergusur, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak hanya itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda merupakan seseorang penari, dan seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan edan judi, serta beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu karena Bapak sudah tak ada, namun juga kebingungan karena beberapa waktu selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil broker judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami tidak punyai tujuan tempat, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan sangat banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok memutus untuk memakai keterampilan kami. Dengan modal kemeja dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau melalui tahun awalan kuliah, dan yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak ringan pun cari uang dengan sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta tidak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun sering helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok betul-betul merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu selalu mengarahkan dan mengingati saya buat menjaga badan biarpun melalui langkah simpel, jadi meski sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul  sich jika dikatakan saya montok. Tidak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu khawatir dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun kuat lantaran dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, meski atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau masih tetap elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya masa itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus buat puas yang tonton."


Semakin lama saya biasa pun pakai dandanan begitu, justru saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, tragedi tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sebetulnya sejak mulai ketabrak pun Simbok telah tidak ada impian, namun entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka dari itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, jadi perlu berutang kemanapun. Saya gak dapat melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja karena begitu bersedih. Kemungkinan tiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya  perlu menghadapi beberapa tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kesukaran saya . Sehingga, 1 minggu sehabis Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya cuman dapat katakan maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, dan setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana langkahnya agar kelak jika pulang sudah mempunyai cukup uang buat bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu hanya mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang namun beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan selekas mungkin." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tidak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewaan. Jika berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu dengan secara seperti berikut? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang membuktikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mengawasi sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya masih ragu-ragu. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak mau ya udah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki berterus-terang ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Sebab barangkali barusan saya malu serta pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya serta menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pula menggenggam paha saya yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya  kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama